SEORANG GILA DAN PELAJARAN MEMBERI by Fitri Mandiri Hatta

SEORANG GILA DAN PELAJARAN MEMBERI

“…bahkan sebuah ide kewarasan dan kebijaksanaan bisa lahir dari sebuah kegilaan..”

“Endang Gundul….! Endang gundul….!!”
“plokk…plookk…plookk…”
Sembari menepuk-nepuk tangan dan bersorak-sorak,
Kami segerombolan setan-setan kecil berusia 10 tahunan asik mengejekki seorang perempuan gila.
Hampir setiap ia lewat didekat kami, secara spontan dan kegirangan kami
Merasa menemukan objek sekaligus proyek untuk dikerjakan bersama-sama.

Perempuan gila ini dilingkungan kami dikenal dengan panggilan “mbak endang gundul”
Bukan tanpa sebab ia dipanggil demikian, hal itu karena Mbak endang memang
Tidak memiliki rambut dikepalanya, yang dengan kreatifnya ia ganti dengan apa yang aku sebut dengan “rambut palsu”. Rambut ini terbuat dari kumpulan kain perca berwarna-warni yang dijahitnya sendiri, sehingga membentuk satu rangkaian menjuntai panjang.
(persis seperti rambut gimbal rasta versi calourfull dg bahan kain)
Akhirnya dipasanglah “wig” kontemporer buatan mbak endang itu menyerupai bando dikepalanya.
Harus kuakui ia kreatif sekali!.

Jika tidak sedang mengejek, dan menyorakki, maka kami dengan gaya
Preman pasar meminta duit receh Dari mbak endang sekedar buat jajan
(betapa hina ya kami waktu itu, masa’ meras orang gila).cckk…ckk..
Mbak endang yang ketakutan dan grogi akhirnya mau juga memberi kami barang seratus ato lima puluh perak….

Mbak endang sendiri tinggal di sebuah WC bekas tak jauh dari rumah sahabat masa kecilku. Sebuah WC yang terdapat sebuah sumur tua di sampingnya.
Sumur yang airnya hanya sekitar 50 centi dan sangat kotor oleh sampah.
Sebenarnya WC sekaligus sumur tua ini merupakan satu bagian dari “langgar” atau surau tua yang ada di desa sahabatku itu. Sebenarnya rumah kami berdekatan (bersebarangan) namun karena terpisah oleh jalan utama. Maka kami memiliki RT dan desa yang berbeda.
Setahuku langgar tersebut merupakan hibah dari seorang tua kaya yang sudah lama sekali meninggal. Dan setahuku pula pewaris atopun kerabatnya masih ada yang tersisa di desa tersebut. Namun sepertinya mereka agak sekuler.
Sehingga langgar tersebut tak lagi pernah terpakai kecuali bulan ramadhan tiba.
Karena kalah bersaing dengan masjid gedhe yang berada tak jauh dari langgar tersebut.

Sedih sekali pastinya pria tua yang menghibahkan langgarnya dengan niat untuk dimanfaatkan oleh kerabat dan masyarakat, namun ternyata tak terurus.
Sering kulihat banyak kotoran cicak dilantainya yang terbuat dari semen sederhana.
Maupun sarang laba-laba yang bergantung di langit-langit langgar.
Langgar ini hanyalah sebuah langgar yang kecil, mungkin hanya bisa menampung
30-an jemaah.
Selepas ramadhan, maka langgarpun hanya menjadi tempat bermain bagi anak-anak kecil seperti kami.

Mbak endang, sering dalam kesendiriannya aku memperhatikannya.
Entah mengapa sejujurnya aku terpikat padanya, entah karena alasan apa.
Aku pikir ia menyimpan banyak misteri dalam matanya.
Dan aku serasa ingin tahu itu..

Asal kalian tahu saja bahwa mbak endang memiliki pinggiran bola mata yang berwarna kebiruan. Dan itu membuatnya tampak istimewa.
Giginya berwarna kemerahan karena kegemarannya mengunyah sirih.
Bajunya selalu rombeng tak karuan, namun tak lepas terdapat kesan artistik pula kutangkap dari sana.
Ia lebih sering memakai bawahan rok rombeng (jadi terkesan agak gypsian juga ni mbak endang setelah aku pikir…pikir…) dengan atasan kaos kumal dan rambut yang luar biasa eksentrik.
Entah kenapa rambutnya tak lagi pernah tumbuh panjang.
Hanya setengah senti, itupun berwarna putih karena uban.
Aku prediksi usianya waktu itu 45tahunan.

Mbak endang tinggal disebuah WC yang sangat tidak layak.
Sepertinya warga mengetahui keberadaan mbak endang disitu,
namun membiarkannya saja karena kasihan.
WC ini berukuran 1 x 1,5 m dan terbuat dari semen kira-kira cukup untuk tidur
namun tidak untuk menelonjorkan kaki.
Didalamnya berisi berbagai keburukan dari hidup.
Sampah plastik, daun kering, suasana yang lembab, tanaman liar, tanah lembab, serta aroma-aroma tidak menyenangkan.
Terkadang sampah mbak endang sendiri melengkapi suasana didalam WC sempit tersebut.
Kebiasaan mbak endang ialah membawa bungkusan kresek hitam, tempatnya menaruh segalanya. Dari baju, peniti, makanan yang ia temu di tempat sampah, barang-barang yang masih bisa dipake, sampai uang!
Ya, ia orang gila yang ngerti nilai uang.
Terkadang mbak endang meminta uang dari orang-orang yang ia temui,
Itupun dengan cukup sopan. sekedar untuk membeli nasi pengganjal perut jika ia lapar.

Sering aku bermain sendiri mengunjunginya, sembari bersantai melihat pepohonan jati yang memang terhampar luas didepan WC busuk mbak endang.
Cukup menghibur, karena hembusan angin yang luar biasa menyejukkan hati dan fikiran.

Aku hampir selalu penasaran dengan manusia yang satu ini.
Itu mungkin hampir sejalan dengan pemikiran yang sempat diutarakan oleh seorang pemikir perancis paling popular Michel Foucault tentang “madness and civilization”
Dimana pada masa pertengahan eropa segala bentuk ketidak normalan atau yang dianggap sebagai bagian dari “kegilaan” berusaha keras untuk dimusnahakan karena dianggap tidak efektif bagi kehidupan kenegaraan. Dibuatlah konsep orang-orang gila, penderita lepra, gelandangan, pengemis, bahkan kaum homoseksual dan lesbian yang diasingkan didalam sebuah penjara di pulau terpencil atau dimasukkan kedalam sebuah kapal dan ditenggelamkan ditengah samudera.
Namun disisi lain kita merasa jijik dan menganggap hal-hal tertentu tidak sesuai dengan apa yang dianggap normal/melanggar pakem norma sosial masyarakat, namun disisi lain kita selalu mencari-cari apa yang ingin kita singkirkan. Semakin ditutupi fenomena “ketidaknormalan” semakin banyak orang merasa penasaran untuk mencari, mengusik-usik dan mengetahuinya. Isn’t it??

Duduk berdua bersama mbak endang entah mengapa memberi ketenangan yang tak terjelaskan. Hanya ditemani desiran anginlah terkadang hati kami saling terkait.
Bahwa ditengah kesunyian itulah sepertinya hati kami bisa bercakap-cakap.
Kulihat dikedalaman matanya, tampak kesedihan didalamnya.
Namun, aku tak cukup berani untuk bertanya hal yang lebih jauh.
“kenapa kamu tinggal disini?”, “apakah yang ada dalam pikiranmu sekarang?”,
“kenapa kamu gila mbak?”, kira-kira terdengar sesarkastik itulah jika kulontarkan padanya. Sebaiknya memang kutahan untuk menjaga perasaannya.
Aku takut ia menjadi mengamuk.
Hampir persis dengan yang dikatakan penyair besar Kahlil Gibran :

“Kesunyian menerangi jiwa kita,
Berbisik kepada hati-hati kita,
Dan menyatukan mereka.
Kesunyian memisahkan kita dari diri kita.
Membuat kita melayani langit jiwa dan membuat kita
Lebih dekat dengan syurga”

Kesunyian terkadang menjelaskan.
Aku hanya berusaha memahami mbak endang dengan kediaman.
Namun satu hal yang ajaib, aku merasakan kebaikan hatinya entah bersumber darimana.
Aku selalu merasa kasihan sebenarnya untuknya.
Yang kudengar mitos diluar sana, mbak endang mulai menjadi gila ketika suaminya meninggalkannya untuk perempuan lain, itu saja.
Dan anak kecil sering ditakut-takuti akan diambil mbak endang jika nakal, karena anak mbak endang hilang entah kemana.

Kadang kuajak ia bicara ringan.
Sekedar menanyakan ia sudah makan atau kemana saja ia pergi berjalan hari ini.
Kadang ia bisa sangat lancar berceloteh, namun dilain waktu ngomongnya bisa ngelantur entah kemana.
Namun aku senang saja waktu itu dan tak berhenti bertanya.
Kulihat sisa rona kehalusan kulit wajahnya yang sudah mengkeriput.
Seperti pernah tampak ada kehormatan disitu, seperti pernah tampak ada kesenangan yang tlah berakhir.
Itulah kenapa mbak endang selalu menjadi misteri, sekaligus daya tarik yang memikat hatiku kuat-kuat.
Karena bersamanya imajinasiku tentang kemanusiaan melesat melampaui tingginya daun jati yang melambai tertiup angin sore dihadapanku.
Karena bersamanya aku merasa seperti terhubung.

Mbak endang hampir seperti orang gila yang waras .
entah kenapa.
Dia menghormatiku dengan sangat.
Membagi menjadi dua bagian kue kotor dari tangannya, yang entah darimana untuk ditawarkan padaku.
Sedangkan aku hampir seperti orang waras yang gila.
Mungkin itu mengapa kami berdua menjadi sangat cocok.

Sering kami “mengobrol” dengan cukup panjang satu sama lain.
Bercerita tentang hal-hal yang sepele.
Kadang mbak endang menjawab dengan tidak nyambung, namun terkadang kembali nyambung lagi. Bahkan sering pula ia terdiam dalam jangka waktu yang cukup lama.
Mbak endang yang dengan bangga memamerkan sebuah mangga yang “kroak”
(tidak utuh) karena sebagian dimakan oleh kelelawar.
Mangga-mangga itu sering ditemukannya dihalaman rumah noni sahabatku.
Sering ada 2-3 buah di WC nya sebagai persediaan makanan. Juga ada buah sawo dan terkadang jambu biji
acapkali diambilkannya buatku sebagai suguhan.
Kumakanlah dengan sukacita.
Begitulah hati seorang anak kecil, murni tak berprasangka.
Dengan dibekali keberanian seorang kesatria,
Akupun menyayangi seorang gila.

Henri Amel pernah berkata :

“Masa kanak-kanak diberkati oleh syurga karunia,
Membawa sepotong nirwana kedalam kekejaman hidup.
Semua ribuan kelahiran setiap hari adalah tambahan segar kepolosan
Dan kemurnian untuk melawan alam kita yang rusak”.

bahkan dengan segala keterbatasannya sekalipun, mbak endang masihlah orang yang pemurah.
Dan begitulah pulalah anak kecil, aku tak ambil pusing darimana mbak endang mendapatkan uang recehannya. Sering pula kuminta uangnya barang 50 rupiah.
Aku bilang untuk beli jajan.
Tampaknya mbak endang tak pernah tega padaku.
Diberikannya dengan sukarela.
Kulihat ia membuka genggaman tangannya yang basah oleh keringat.
Wah, banyak recehan disana.
Tampak daki hitam melekat ditelapak tangannya dan di uang receh yang berada digenggamannya.
Ada rasa hangat yang berasal dari tangannya sewaktu ia menyerahkan uang 50-an yang bergambar burung padaku.

Akupun mengelap uang itu dengan bajuku dan berlari senang
“…matur suwun yo mbak …..!”
(bahasa jawa : “terima kasih ya mbak..”)

Begitulah, kebaikan hati perempuan gila yang aku panggil mbak endang.
Bagian dari masa kecil ini pulalah mungkin yang memberikan aku pelajaran untuk menjadi manusia yang lebih pemberi. Menjadi manusia yang jauh lebih pemurah.
Betapa kita manusia tak pernah mampu menduga darimana kita akan belajar tentang makna sebuah kebaikan
Pelajaran mengenai kebaikan bahkan datang dari hal sederhana yang sangat tidak rumit.
Kemurnian masa kecil dan “kebijaksanaan” seorang gila yang niscaya membuat kita kembali berfikir untuk membuatnya menjadi sebuah cerminan.

Dari Mbak endang seorang perempuan gila, aku beranjak dewasa dengan membawa satu pelajaran tentang arti “memberi”. Dan memahami dengan lebih baik.
Bahwa disetiap kegilaan pasti ada kewarasan meski sedikit.
Bahwa disetiap wajah yang carut-marut oleh lubang-lubang bekas luka,
Tersimpang kemuliaan yang tak terkira.

Di momen itulah aku bertolak,
Di momen yang lebih banyak sunyi daripada ramai.
Dimana begitu banyak pertanyaanku tentang mbak endang tak pernah terjawab.
Dimana Tuhan menciptakan keselarasan yang mengalir begitu halus dan indah…
Dimana keselarasan adalah cara Tuhan untuk tetap tidak terlihat dan dikenal…
Dimana aku serasa tak menemukan jawaban ditengah ketertemuanku akan jawaban itu sendiri…

Begitulah akal sehat.
Yang sering tak lebih penting ketika nurani yang sehat tak turut hadir.
Dimana Voltaire pernah berujar :

“akal sehat bukanlah apa-apa melainkan sesuatu yang biasa”

Betapa kemalangan bagi mereka yang mengagung-agungkan akal sehat dan logikanya.
Yang mana logika itu sendiri memiliki kemampuan untuk menyesatkan dan memperbudak tuannya.

Sejak kepindahanku dari rumah lama ke rumah baru yang cukup jauh dari tempat tinggal mbak endang, aku kehilangan Dia.
Entah kenapa memoriku belakangan ini sering melompat-lompat ke masa lalu,
Seperti ada tahap dan fase dimana aku merekonstruksi ulang dan mengevaluasi kejadian dimasa lalu.
Bertumpuk-tumpuk memori lama yang luar biasa mampu kuingat detailnya.
Salah satunya ialah mengingat kembali sosok mbak endang,
“mmhh…aku merindukannya”

Aku tak pernah tau lagi kabar mbak endang.
Kabar terakhir yang kudengar mbak endang sudah tak ada lagi dikotaku…
Mbak endang menghilang entah kemana…..

“belakangan tampaknya bila sesuatu tidak tampak kompleks dan canggih kita tidak lagi menganggapnya bernilai. Akan tetapi sebagian besar kebenaran sebenarnya sederhana..”
(Sharma, Robin)

witten by : fitri mandiri hatta

cerita pemberi motivasi (24)

3 thoughts on “SEORANG GILA DAN PELAJARAN MEMBERI by Fitri Mandiri Hatta”

  1. pertanyannya, kenapa kok ya mbak endang gak ditolong? bukankah ini gejala masyarakat yang juga menjadi “gila”? lah kan udah tau dia begitu mbok ya ditolongin dimasukin ke rumah sakit waktu itu.
    kan mbak endang bukan orang gila jalanan, tapi bagian dari masyarakat anda pada waktu itu, disorot yang ininya juga mungkin menarik juga neh mas

  2. thanks mas rafael komentnya. seperti yang ditulis oleh penulis, penulis waktu itu masih usia 10 tahunan, belum mengerti tentang yang mas maksud.

  3. Kasian…banyak orang gila berkeliaran disekitar kita, bukan tidak ingin menolong tapi lebih karena ada perasaan takut yang membuat orang lain hanya bisa memandang sedih dikejauhan…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *